*Tulisan ini ditulis oleh penulis pada Maret 2012 sebagai persyaratan untuk menjadi seorang jurnalis di hukumonline.com (Alhamdulillah berhasil diterima hehehe…..walau dengan penekanan terhadap substansi yang masih kurang tereksplor dan kaidah penulisan yang mash berantakan di sana-sini)
Rimba Supriatna, SH
Beberapa waktu yang lalu tepatnya di medio Februari Tahun 2012 publik khususnya para pelaku usaha dan pekerja di bidang pertambangan dan pengelolaan sumber daya mineral dikejutkan dengan kebijakan kontroversial Pemerintah yang menerbitkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Sejak Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral tersebut berlaku banyak pihak yang merasa dirugikan karena menganggap beberapa pasal yang terkandung didalamnya mempersulit kegiatan ekspor (penjualan) hasil tambang mineral sebagai bagian dari satu sistem pertambangan di Indonesia, selain itu, menurut Kamar Dagang dan Industri (KADIN) seperti yang penulis kutip dari harian tempo, di awal berlakunya peraturan ini kalangan pengusaha sudah dirugikan sebesar 1 Triliun Rupiah, selain itu, volume perdagangan bahan mentah mineral juga diklaim turun 15,05% sampai dengan november bulan ini. Regulasi tersebut kontan berimplikasi pada mandegnya pengapalan atau pengeksporan mineral dan pemberhentian para pekerja di berbagai daerah yang disebabkan kerugian perusahaan karena merosotnya kuantitas penjualan bahan mentah mineral hasil produksi. Dari data yang diperoleh Sejak aturan pengetatan ekspor diberlakukan pengusaha tambang mineral melakukan penyesuaian karena harus ditetapkan sebagai eksportir terdaftar dan mengantongi surat persetujuan ekspor terlebih dahulu, ditambah lagi pengenaan bea keluar ekspor sebesar 20% semakin mempersulit ekspor perdagangan bahan mentah mineral ke luar negeri. Diantara pasal-pasal yang menjadi permasalahan dalam Permen tersebut adalah Pasal 8 Ayat (3), Pasal 9 Ayat (3), Pasal 10 Ayat (1) serta Pasal 21 yang mewajibkan pengontrolan dan pengetatan secara berkala ekspor tambang mineral di Indonesia melalui Kementerian ESDM.
Politik kebijakan dan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Permen ESDM No.7 Tahun 2012 seperti yang yang dijelaskan oleh Menteri ESDM Jero Wacik, didasarkan pada pesatnya peningkatan jumlah ekspor perdagangan bahan mentah mineral sampai diatas 500% sehingga hal ini akan berpengaruh pada tereduksinya ketersediaan bahan mentah mineral didalam negeri. Ekses lain yang diharapakan dari keberlakuan Permen tersebut ialah untuk mencegah terjadinya kerusakan alam yang disebabkan oleh meluapnya praktek penambangan baik yang dilakukan oleh perusahaan penambangan legal maupun illegal. Dengan logika kebijakan tersebut Kementerian ESDM menghimbau para pengusaha untuk membangun fasilitas smelter untuk kepentingan hilirisasi guna mengolah bahan mentah mineral agar dapat digunakan oleh pasar industri nasional sebelum menjualnya ke luar negeri.
Fenomena diatas mencerminkan sebuah paradoks kebijakan dimana satu sisi terjadi banyak kerugian secara langsung maupun tidak langsung oleh para pengusaha dan pekerja tambang mineral dan disisi yang lain pemerintah mendasari tindakannya atas dasar kepentingan nasional. Paradoks tersebut tidak berhenti hanya pada tataran setuju atau tidak setuju pada argumentasi masing-masing pihak namun sudah sampai pada tindakan hukum permohonan uji materiil Permen No.7 Tahun 2012 dari pihak pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) ke Mahkamah Agung (MA). Sampai saat inipun menurut catatan penulis, pihak Kementerian ESDM mengklaim belum menerima salinan resmi putusan dari MA sehingga menimbulkan problematika baru yang menyebabkan “konflik” antara pemerintah dengan para pihak terkait (stakeholder) seperti pengusaha dan pemerintah daerah mengenai pemberlakuan dan pelakasanaan aturan tersebut, ditambah lagi dengan aturan perubahan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Permen ESDM No.11 Tahun 2012 sebagai revisi Permen No. 7 Tahun 2012 yang dikeluarkan sebelum putusan MA keluar semakin menambah ketidakpastian pengaturan pengeksporan bahan mentah mineral keluar negeri.
Titik tekan pemasalahan pengaturan lalu lintas ekspor bahan mentah mineral melalui Permen ESDM No.7 Tahun 2012 berdasarkan pengamatan penulis berangkat dari ketidaktepatan “timing” (waktu) dan tidak diaturnya secara rigid (jelas) mengenai tata niaga pengeksporan bahan mentah mineral, disamping itu kurangnya pembinaan dan persiapan pembangunan infrastruktur smelter pengolahan dan pemurnian bahan mentah mineral menjadi salah satu faktor penolakan kebijakan tersebut dari kalangan pengusaha. Hal ini otomatis berujung pada kerugian materiil dan peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja terhadap para pekerja tambang oleh perusahaan di berbagai daerah karena tidak adanya pihak di Indonesia yang membeli hasil produksi tambang bahan mineral mentah yang ekspornya tidak diperkenankan ke luar negeri. Penulis beranggapan bahwa semangat konstruktif dari peraturan tersebut perlu di apresiasi ditengah keterpurukan kita menyangkut masalah sistem pertambangan nasional akibat ulah para pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya dan ketidakpeduliannya terhdap isu-isu permasalahan lingkungan alam, namun, kita juga harus tetap melihat problematika tersebut dengan kacamata objektif dan komperhensif sehingga tidak mengorbankan ratusan ribu pekerja tambang yang menggantungkan hidupnya pada pada sektor pertambangan bahan mentah mineral sehingga tidak menodai semangat konstruktif dari pengaturan Menteri ESDM tersebut.
Permasalahan diatas menurut hemat penulis harus segera diatasi dengan tetap mengedepankan kepentingan bersama dan kemanfaatan bagi bangsa dan negara dibidang pertambangan. Penanganan permasalahan tersebut harus mempunyai proyeksi keseimbangan kepentingan antara pemerintah dan pengusaha serta pemerintah daerah sebagai elemen penting dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dimana dalam Pasal 3 UU Minerba dikatakan mengenai tujuan pengelolaan mineral dan batubara ialah untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing, menjamin mafaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri, rnendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, dan menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Sebagai penutup, pemerintah secara praktis harus menemukan formulasi yang objektif, strategis dan menyeluruh dengan membentuk sebuah tim nasional yang melibatkan semua komponen terkait untuk merumuskan kebijakan yang mengakomodir kepentingan semua pihak sehingga tidak ada yang dirugikan, pemerintah dalam hal ini harus melakukan evaluasi terhadap keberlakuan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tersebut dan segera melakukan pembinaan terhadap pengusaha tambang bahan mentah mineral mengenai urgensitas regulasi tersebut serta membantu kalangan pengusaha untuk menyiapkan infrastruktur smelter untuk kepentingan hilirisasi pengolahan dan pemurnian bahan mentah mineral. Dengan demikian diharapkan ada pendampingan dan penjelasan terhadap semua implikasi yang ditimbulkan oleh keberlakuan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 sehingga mampu menekan jumlah kerugian perusahaan serta dapat mengurangi angka pemutusan hubungan kerja bagi para pekerja tambang bahan mentah mineral. Semoga.
**Insha Allah akan to be continue, karena memang sudah basi baik tulisan, regulasi dan peraturan terkait di dalamnya…^^